Thursday 12 November 2015

UUD 1945 Mendegradasi Fungsi DPR Selaku Pemegang Kekuasaan Legislasi

Kejatuhan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 menandai beralihnya masa orde baru kepada masa reformasi yang kemudian membawa sejumlah perubahan besar untuk menuju Indonesia baru. Bergesernya masa orde baru kepada masa reformasi tersebut didorong oleh tokoh-tokoh masyarakat dan mahasiswa yang menghendaki adanya perubahan mendasar pada pola kepemimpinan serta sebagai jalan untuk menyelesaikan berbagai persolan bangsa yang dihadapi saat itu. Namun persoalan yang paling utama adalah pola dan sistem kepemimpinan orde baru yang cenderung absolut dan “terbungkus  rapi” pada nilai-nilai konstitusi.
Itulah sebabnya reformasi dimaknai sebagai tonggak sejarah restrukturisasi kehidupan ketatanegaraan Indonesia dari sistem otoritarian dan absolutisme kepada sistem demokratisasi yang lebih kongkret dan nyata serta menyeluruh yang membawa sejumlah perubahan besar dan mendasar utamanya pada formasi kelembagaan negara yang termanivestasi melalui batang tubuh konstitusi baru. Semangat yang terkandung pada batang tubuh konstitusi khsusnya pada kewenangan kelembagaan negara yang tertuang dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar hasil amandemen telah menggambarkan adanya keinginan sungguh-sungguh atas tuntutan dan semangat reformasi untuk meletakkan marwah demokrasi pada ruang yang seharusnya, menihilkan kekuasaan absolut, serta menimimalisir pemerintahan tirani yang mana hal ini telah lama terdegradasi pada zaman orde baru melalui penerapan Undang-Undang Dasar pasca Dekrit Presiden 5 Juli Tahun 1959. Hal inilah yang kemudian oleh Bagir Manan disebutkan bahwa reformasi telah memulihkan kebebasan hak-hak asasi serta hak-hak demokratik lainnya dan yang terbesar adalah mengubah Undang-Undang Dasar 1945.[1]
Perubahan Undang-Undang Dasar sebagai langkah utama dan terpenting untuk mengembalikan marwah demokrasi dalam kehidupan kebangsaan Indonesia telah dilakukan. Sebagai jalan menuju demokrasi, tujuan perubahan Undang-Undang Dasar diantaranya yaitu untuk menyempurnakan aturan dasar tatanan negara, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembagian kekuasaan serta mempertegas sistem presidensil.[2]
Sebagaimana diuraikan di atas, salah satu tuntutan perubahan mendasar sehingga dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar yakni perbaikan pada sistem pembagian kekuasaan. Sebagaimana yang terjadi pada masa orde baru kedaulatan sepenuhnya dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR) sebagai lembaga tertinggi negara yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana hal ini terlegitimasi dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar sebelum amandemen yang menyebutkan bahwa “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Sehingga secara praktis semua kewenangan yang terjewatahkan pada lembaga negara merupakan hasil distribusi kewenangan dari MPR. Hal ini lah menyebabkan Undang-Undang Dasar sebelum amandemen dalam pembagian kekuasaan lebih menganut sistem distribution of power dengan landasan prinsip supremasi MPR.
Selain itu, pemberian kewenangan berlebih kepada Presiden menyebabkan posisi Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disingkat DPR) seolah kehilangan fungsinya. Hal ini utamanya terjadi pada kewenangan pelaksanaan fungsi legislasi, dimana Undang-Undang Dasar sebelum amandemen menitikberatkan kewenangan pembentukan undang-undang kepada presiden, sedangkan DPR seolah hanya berposisi sebagai subordinate ligislation presiden, bahkan secara tegas Undang-Undang Dasar sebelum amandemen menyebut Presiden sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang disamping pemegang kekuasaan pemerintahan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 ayat (1) “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” dan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Rumusan ini sebagai dasar bahwa Presden diberi mandat sebagai absolute power untuk menjalankan kewenangan ganda yakni sebagai kepala pemerintahan dan pemegang kuasa pelaksana fungsi legislasi.
Padahal secara konseptual, kedudukan presiden selaku kepala eksekutif (eksecutive power) harus dipisahkan dari kewenangan pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang (legislative power), sebagaimana pandangan Montesqieau melalui teori monumentalnya trias pilitica theorie yang membagi/memisahkan kekuasaan negara kedalam 3 (tiga) cabang, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pembagian kekuasaan negara tersebut bukan tanpa alasan, melainkan disebabkan agar terjadinya penataan kelembagaan negara secara berimbang dan mencegah terjadinya tirani sehingga menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), sebgaimana Lord Action pernah berujar “power tend to corrupt. Absolute power corrupts absolutely”.
Maka jelaslah bahwa kontruksi kekuasaan dan pelembagaan negara yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar sebelum amandemen menyalahi konstruksi ideal konsep kekuasaan dan pelembagaan negara yang berimbas pada terjadinya tirani kekuasaan serta ketidakseimbangan kedudukan organ negara. Konstruksi tersebut kemudian berubah setelah Undang-Undang Dasar diamandemen, struktur kelembagaan negara direposisi sedemikian rupa. Presiden tidak lagi didaulat sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang disamping pemegang kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan pembetukan undang-undang menjadi ranah kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat. Sistem distribution of power yang berlandaskan prinsip supremasi MPR diganti dengan sistem separation of power  dengan landasan prinsip checks and balances dengan menganut modifikasi doktrin pembagian kekuasaan ala trias pilitica Montesqieau. Hal ini lah kemudian melegitimasi posisi DPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang sebagaimana termaktub dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar hasil amandemen yang menyebutkan “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Kemudian dipertegas lagi oleh Pasal 20A ayat 1 Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945 yang menyatakan penegasan bahwa salah satu fungsi yang melekat pada organ DPR adalah fungsi legislasi.
Pada titik ini DPR seolah telah kembali mendapatkan marwahnya dan seolah lebih heavy dibandingkan Presiden khususnya dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Sebagaimana hal ini dikatakan Nelman Kusuma,[3] bahwa setelah terjadi perubahan mendasar pada Undang-Undang Dasar maka terjadi pergeseran kewenangan legislasi yang sebelumnya berada di tangan Presiden beralih ke tangan Dewan Perakilan Rakyat.
Selanjutnya terkait dengan hal tersebut yakni pelaksaan kekuasaan pembentukan undang-undang yang terdapat pada Undang-Undang Dasar hasil amandemen tersebut, masih terdapat permasalahan khususnya legitimasi posisi DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Permasalah tersebut terdapat pada rumusan kewenangan pembentukan undang-undang yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar hasil amandemen tersebut. Sebab kedudukan Presiden selaku  pemegang kekuasaan pemerintahan seolah diposisikan kembali sebagai bagian dari pelaksanan pembentuk undang-undang yang disejajarkan dengan DPR. Bahkan jika dicermati lebih mendalam pada pasal-pasal Undang-Undang Dasar hasil amandemen kecenderungan president heavy legislation procces nampak adanya.
Hal tersebut dapat terlihat pada Pasal 20 ayat (2) yang menyebutkan “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Ketentuan ini mengandung pengertian bahwasannya DPR dan Presiden memiliki kedudukan yang sama dalam proses pembentukan undang-undang, sehingga ini menisbikan posisi DPR selaku lembaga yang dilegitimasi untuk pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang. Sementara kecenderungan president heavy legislation procces tercermin pada Pasal 20 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar hasil amandemen yang pada intinya mengatur bahwa penentuan pemberlakuan sebuah undang-undang menjadi domain Presiden melalui tindakan pengesahan dan pengundangan yang dilegitimasi kepada Presiden. Lantas muncul pertanyaan, dimanakah letak posisi DPR selaku pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang yang dilegitimasi oleh Undang-Undang Dasar?
Sehingga jika perhatikan secara runtut, terlihat jelas adanya konflik penormaan yang terdapat dalam Pasal 20, yakni terjadi pertentangan antara ayat (1) dengan ayat lainnya, yakni ayat (2), ayat (3), ayat (4) serta ayat (5) yang sama-sama terkadung dalam Pasal 20 Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945. Pertentangan tersebut terlihat jelas sebab pada ayat (1) yang telah memberi legitimasi tegas bahwa DPR memegang kekuasaan pembentukan undang-undang, namun pada norma ayat selanjutnya yang masih merupakan derivasi dari Pasal 20 yakni ayat ayat (2), ayat (3), ayat (4) serta ayat (5) justru seakan mengaburkan kekuasaan DPR yang telah dilegitimasi oleh ayat (1).
Pertentangan norma tersebut juga mengakibatkan terjadinya kekaburan sistem pembagian organ kekuasaan yang merupakan dasar dalam perubahan Undang-Undang Dasar, karena jika disandingkan dengan sistem pembagian organ kekuasaan negara berdasarkan teori trias politica maupun teori separation of power maka penormaan yang terkandung dalam Pasal 20 ayat (2), ayat (3), ayat (4) serta ayat (5) tersebut tidak sesuai. Sebab teori trias politica maupun teori separation of power menghendaki adanya pembagian kekuasaan yang jelas baik kekuasaan legislatif, eksekutif mupun yudikatif dengan tetap mengakomodasi prinsip checks and balances.
Atas dasar itulah, maka kedudukan DPR sebagai pemegang kekuasan fungsi legislasi menjadi seakan terdeligitimasi. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kekacauan konstruksi kewenangan DPR selaku pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan sekaligus membuka celah atau kekosongan hukum yang perlu dilakukan “penambalan” melalu jalan merekonstruksi kedudukan DPR dan Presiden dalam pelaksanaan pembentukan undang-undang melalui penormaan dengan formulasi ideal. Formulasi ideal dimaksud adalah melakukan reposisi secara nyata peran DPR dan Presiden pada porsi yang seharusnya dengan tetap berlandaskan pada teori-teori ketatanegaraan  dan prinsip pelambagaan organ negara modern.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul Kedudukan DPR dan Presiden Dalam Pelaksanaan Fungsi Pembentukan Undang-Undang Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


[1] Bagir Manan. DPR, DPD, dan Dalam Undang-Undang Dasar 1945. Yogyakarta, FH UII Press. 2003. hal. 1.
[2] Tanpa nama. Kesepakatan Dasar Dalam Melakukan Perubahan UUD 1945. http://kewarganegaraan-rosi.blogspot.com/2012/07/Kesepakatan-Dasar-Dalam-Melakukan-Perubahan-UUD-1945.html?m=1. tanpa tahun. Diakses Tanggal 24 April 2015.
[3] Nelman Kusuma. Sistem Parlemen Dalam Persektif Ketatanegaraan di Indonesia (Membangun Checks and Balances dalam Parlemen Dengan Model strong Bicameral). Yogyakarta, Genta Publishing. 2014. hal. 1574