Kejatuhan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 menandai beralihnya masa orde baru kepada
masa reformasi yang kemudian membawa sejumlah perubahan besar untuk menuju Indonesia
baru. Bergesernya masa orde baru kepada masa reformasi tersebut didorong oleh
tokoh-tokoh masyarakat dan mahasiswa yang menghendaki adanya perubahan mendasar
pada pola kepemimpinan serta sebagai jalan untuk menyelesaikan berbagai
persolan bangsa yang dihadapi saat itu. Namun persoalan yang paling utama
adalah pola dan sistem kepemimpinan orde baru yang cenderung absolut dan
“terbungkus rapi” pada nilai-nilai
konstitusi.
Itulah sebabnya reformasi
dimaknai sebagai tonggak sejarah restrukturisasi kehidupan
ketatanegaraan Indonesia dari sistem otoritarian dan absolutisme kepada sistem demokratisasi yang lebih kongkret dan nyata serta menyeluruh yang membawa sejumlah perubahan besar dan mendasar utamanya pada formasi
kelembagaan negara yang termanivestasi melalui batang tubuh konstitusi baru. Semangat yang terkandung pada batang tubuh konstitusi khsusnya pada
kewenangan kelembagaan negara yang tertuang dalam pasal-pasal Undang-Undang
Dasar hasil amandemen telah menggambarkan adanya keinginan sungguh-sungguh
atas tuntutan dan semangat reformasi untuk meletakkan marwah demokrasi pada ruang
yang seharusnya, menihilkan kekuasaan absolut, serta
menimimalisir pemerintahan tirani yang mana hal ini telah lama terdegradasi pada
zaman orde baru melalui penerapan Undang-Undang Dasar pasca Dekrit Presiden 5
Juli Tahun 1959. Hal inilah yang kemudian oleh Bagir Manan disebutkan bahwa
reformasi telah memulihkan kebebasan hak-hak asasi serta hak-hak demokratik
lainnya dan yang terbesar adalah mengubah Undang-Undang Dasar 1945.[1]
Perubahan Undang-Undang Dasar sebagai langkah
utama dan terpenting untuk mengembalikan marwah demokrasi dalam kehidupan
kebangsaan Indonesia telah dilakukan. Sebagai jalan menuju demokrasi, tujuan
perubahan Undang-Undang Dasar diantaranya yaitu untuk menyempurnakan aturan
dasar tatanan negara, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembagian kekuasaan
serta mempertegas sistem presidensil.[2]
Sebagaimana
diuraikan di atas, salah satu tuntutan perubahan mendasar sehingga dilakukan
perubahan terhadap Undang-Undang Dasar yakni perbaikan pada sistem pembagian
kekuasaan. Sebagaimana yang terjadi pada masa orde baru kedaulatan sepenuhnya
dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR) sebagai lembaga tertinggi negara yang
merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana hal ini terlegitimasi
dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar sebelum amandemen yang menyebutkan
bahwa “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat”. Sehingga secara praktis semua kewenangan yang
terjewatahkan pada lembaga negara merupakan hasil distribusi kewenangan dari
MPR. Hal ini lah menyebabkan Undang-Undang Dasar sebelum amandemen dalam
pembagian kekuasaan lebih menganut sistem distribution
of power dengan landasan prinsip supremasi MPR.
Selain itu, pemberian
kewenangan berlebih kepada Presiden menyebabkan posisi Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disingkat DPR) seolah kehilangan fungsinya. Hal ini utamanya
terjadi pada kewenangan pelaksanaan fungsi legislasi, dimana Undang-Undang
Dasar sebelum amandemen menitikberatkan kewenangan pembentukan undang-undang
kepada presiden, sedangkan DPR seolah hanya berposisi sebagai subordinate ligislation presiden, bahkan
secara tegas Undang-Undang Dasar sebelum amandemen menyebut Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang disamping pemegang kekuasaan
pemerintahan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 ayat (1) “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” dan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”.
Rumusan ini sebagai dasar bahwa Presden diberi mandat sebagai absolute power untuk menjalankan
kewenangan ganda yakni sebagai kepala pemerintahan dan pemegang kuasa pelaksana
fungsi legislasi.
Padahal
secara konseptual, kedudukan presiden selaku kepala eksekutif (eksecutive power) harus dipisahkan dari
kewenangan pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang (legislative power), sebagaimana pandangan Montesqieau melalui teori
monumentalnya trias pilitica theorie
yang membagi/memisahkan kekuasaan negara kedalam 3 (tiga) cabang, yakni
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pembagian kekuasaan negara tersebut bukan
tanpa alasan, melainkan disebabkan agar terjadinya penataan kelembagaan negara secara
berimbang dan mencegah terjadinya tirani sehingga menyebabkan penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power),
sebgaimana Lord Action pernah berujar “power
tend to corrupt. Absolute power corrupts absolutely”.
Maka
jelaslah bahwa kontruksi kekuasaan dan pelembagaan negara yang tertuang dalam
Undang-Undang Dasar sebelum amandemen menyalahi konstruksi ideal konsep
kekuasaan dan pelembagaan negara yang berimbas pada terjadinya tirani kekuasaan
serta ketidakseimbangan kedudukan organ negara. Konstruksi tersebut kemudian
berubah setelah Undang-Undang Dasar diamandemen, struktur kelembagaan negara
direposisi sedemikian rupa. Presiden tidak lagi didaulat sebagai pemegang
kekuasaan pembentuk undang-undang disamping pemegang kekuasaan pemerintahan.
Kekuasaan pembetukan undang-undang menjadi ranah kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat. Sistem distribution of
power yang berlandaskan prinsip supremasi MPR diganti dengan sistem separation of power dengan landasan prinsip checks and balances dengan menganut modifikasi doktrin pembagian
kekuasaan ala trias pilitica Montesqieau.
Hal ini lah kemudian melegitimasi posisi DPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan
pembentuk undang-undang sebagaimana termaktub dalam Pasal 20 ayat (1)
Undang-Undang Dasar hasil amandemen yang menyebutkan “Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Kemudian dipertegas lagi oleh Pasal 20A ayat 1 Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945 yang menyatakan penegasan bahwa salah satu fungsi yang
melekat pada organ DPR adalah fungsi legislasi.
Pada titik
ini DPR seolah telah kembali mendapatkan marwahnya
dan seolah lebih heavy dibandingkan
Presiden khususnya dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Sebagaimana hal ini
dikatakan Nelman Kusuma,[3]
bahwa setelah terjadi perubahan mendasar pada Undang-Undang Dasar maka terjadi
pergeseran kewenangan legislasi yang sebelumnya berada di tangan Presiden
beralih ke tangan Dewan Perakilan Rakyat.
Selanjutnya terkait dengan hal tersebut yakni pelaksaan kekuasaan pembentukan undang-undang
yang terdapat pada Undang-Undang Dasar hasil amandemen tersebut, masih terdapat
permasalahan khususnya legitimasi posisi DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk
undang-undang. Permasalah tersebut terdapat pada rumusan kewenangan pembentukan
undang-undang yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar hasil amandemen
tersebut. Sebab kedudukan Presiden selaku
pemegang kekuasaan pemerintahan seolah diposisikan kembali sebagai
bagian dari pelaksanan pembentuk undang-undang yang disejajarkan dengan DPR. Bahkan jika dicermati lebih mendalam pada pasal-pasal
Undang-Undang Dasar hasil amandemen kecenderungan president heavy legislation procces nampak adanya.
Hal tersebut dapat terlihat pada Pasal 20 ayat (2) yang menyebutkan “Setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.” Ketentuan ini mengandung pengertian bahwasannya DPR dan Presiden memiliki kedudukan yang sama dalam proses
pembentukan undang-undang, sehingga ini menisbikan posisi DPR selaku lembaga yang dilegitimasi untuk pemegang kekuasaan pembentuk
undang-undang. Sementara kecenderungan president
heavy legislation procces tercermin pada Pasal 20 ayat (4) dan ayat (5)
Undang-Undang Dasar hasil amandemen yang pada intinya mengatur bahwa penentuan
pemberlakuan sebuah undang-undang menjadi domain Presiden melalui tindakan
pengesahan dan pengundangan yang dilegitimasi kepada Presiden. Lantas muncul
pertanyaan, dimanakah letak posisi DPR selaku pemegang kekuasaan pembentuk
undang-undang yang dilegitimasi oleh Undang-Undang Dasar?
Sehingga jika perhatikan secara runtut, terlihat jelas adanya konflik
penormaan yang terdapat dalam Pasal 20, yakni terjadi pertentangan antara ayat
(1) dengan ayat lainnya, yakni ayat (2), ayat (3), ayat (4) serta ayat (5) yang
sama-sama terkadung dalam Pasal 20 Undang-Undang
Dasar NRI tahun
1945. Pertentangan tersebut terlihat jelas sebab pada ayat (1) yang telah
memberi legitimasi tegas bahwa DPR memegang kekuasaan pembentukan undang-undang,
namun pada norma ayat selanjutnya yang masih merupakan derivasi dari Pasal 20
yakni ayat ayat (2), ayat (3), ayat (4) serta ayat (5) justru seakan
mengaburkan kekuasaan DPR yang telah dilegitimasi oleh ayat (1).
Pertentangan norma tersebut juga mengakibatkan terjadinya kekaburan
sistem pembagian organ kekuasaan yang merupakan dasar dalam perubahan
Undang-Undang Dasar, karena jika disandingkan dengan sistem pembagian organ
kekuasaan negara berdasarkan teori trias
politica maupun teori separation of
power maka penormaan yang terkandung dalam Pasal 20 ayat (2), ayat (3),
ayat (4) serta ayat (5) tersebut tidak sesuai. Sebab teori trias politica maupun teori separation
of power menghendaki adanya pembagian kekuasaan yang jelas baik kekuasaan
legislatif, eksekutif mupun yudikatif dengan tetap mengakomodasi prinsip checks and balances.
Atas dasar
itulah, maka kedudukan DPR sebagai pemegang kekuasan fungsi legislasi
menjadi seakan terdeligitimasi. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya kekacauan konstruksi kewenangan DPR selaku pemegang kekuasaan pembentuk
undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan sekaligus membuka celah
atau kekosongan hukum yang perlu dilakukan “penambalan” melalu jalan
merekonstruksi kedudukan DPR dan Presiden dalam pelaksanaan pembentukan
undang-undang melalui penormaan dengan formulasi ideal. Formulasi ideal
dimaksud adalah melakukan reposisi secara nyata peran DPR dan Presiden pada
porsi yang seharusnya dengan tetap berlandaskan pada teori-teori
ketatanegaraan dan prinsip pelambagaan
organ negara modern.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis
tertarik melakukan penelitian dengan judul Kedudukan DPR dan Presiden Dalam Pelaksanaan
Fungsi Pembentukan Undang-Undang Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
[1] Bagir
Manan. DPR, DPD, dan Dalam Undang-Undang
Dasar 1945. Yogyakarta, FH UII Press. 2003. hal. 1.
[2] Tanpa
nama. Kesepakatan Dasar Dalam Melakukan
Perubahan UUD 1945. http://kewarganegaraan-rosi.blogspot.com/2012/07/Kesepakatan-Dasar-Dalam-Melakukan-Perubahan-UUD-1945.html?m=1. tanpa tahun. Diakses Tanggal 24 April 2015.
[3] Nelman
Kusuma. Sistem Parlemen Dalam Persektif
Ketatanegaraan di Indonesia (Membangun
Checks and Balances dalam Parlemen Dengan Model strong Bicameral). Yogyakarta, Genta Publishing. 2014. hal. 1574